Dinamika Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno.

Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Adapun tujuan demokrasi terpimpin sebagai berikut: Memulihkan keadaan politik yang tidak stabil sebagai warisan dari Parlemen atau Demokrasi Liberal menjadi lebih stabil. Ini karena selama Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden terbatas untuk menjadi kepala negara.

Demokrasi Terpimpin berjalan berdasarkan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila ke-4 dari Pancasila).

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

1. Menetapkan pembubaran Konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).
3. Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dualisme Kepemimpinan Nasional

Terdapat dua kekuatan yaitu TNI AD dan PKI:
● TNI AD: memiliki pengaruh kuat sejak berhasil menumpas pemberontakan PRRI.
● PKI: memiliki pengaruh yang kuat sejak berhasil menang di pemilu 1955.

Pembebasan Irian Barat

Pembebasan Irian Barat menjadi momen penting yang membuat wilayah tersebut akhirnya lepas dari cengkeraman pihak kolonial Belanda:

➔ Masalah Irian Barat sudah dibicarakan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB dilaksanakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus hingga 2 September 1949.

KMB merupakan konferensi segitiga yang terdiri dari BFO, Republik Indonesia, dan Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dan delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen dan pihak UNCI sebagai penengah adalah Chritchley.

➔ Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke NKRI dibicarakan dalam Konferensi Asia Afrika. Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan KAA yang berlangsung di Bandung tanggal 18 hingga 24 April 1955.

Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)

Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) merupakan salah satu ketentuan persetujuan 1962 mengenai penyerahan kekuasaan pemerintahan atas Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia. Ada tiga tahap Pepera, yaitu:

a. Tahap pertama
Tahap ini dimulai pada tanggal 24 Maret 1969, yaitu mengadakan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai tata Cara penyelenggaraan Pepera.

b. Tahap kedua
Tahap ini yakni berupa pemilihan anggota dewan musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.

c. Tahap ketiga
Pada tahap ini dilaksanakan Pepera pada tanggal 4 Juli 1969 berakhir pada tanggal Agustus 1969.

Saksi dari Pepera yakni utusan sekretaris Jenderal Duta Besar Ortiz Sanz. Walaupun sudah mengikuti pepera akan tetapi secara bulat tetap menyatakan bagian dari negara RI.

Hasil pepera dibawa oleh Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan Umum PBB. Sebagai kenangan atas perjuangan merebut Irian Barat maka pada tanggal 21 Desember 1995 diresmikannya Monumen Mandala oleh Presiden Soeharto (presiden pada saat itu) di Makassar.

Konfrontasi Dengan Malaysia

Konfrontasi dengan Malaysia adalah pertentangan langsung antara Federasi Malaysia dengan Indonesia dan Filipina pada 1964.

Federasi Malaysia, menurut Presiden Soekarno merupakan proyek Neokolonialisme Imperialisme (Nekolim) Inggris untuk mengamankan kekuasaannya di Asia Tenggara.

Tentu saja proyek ini akan membahayakan revolusi Indonesia. Penyebab terjadinya konfrontasi Indonesia dan Malaysia adalah keinginan Federasi Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia.

Keinginan ini ditentang oleh Indonesia dan Filipina. Filipina menentang karena menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Kesultanan Sulu.

Pendirian Federasi Malaysia diproklamasikan pada 16 September 1963. Mengetahui hal ini, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Indonesia memutuskan hubungan politik dengan Malaysia pada 17 September 1963.

Kemudian pada 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Ketika konfrontasi berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Pencalonan ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Pada 7 Januari 1965, Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB.

Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin

Ekonomi terpimpin adalah sistem ekonomi di mana semua aktivitas ekonomi dipusatkan di pemerintah. Daerah hanya kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Pusat memegang kekuasaan yang besar. Langkah yang strategis dalam pelaksanaan Sistem Ekonomi Komando:

1. Membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang tahun 1963 berubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas)

2. Melakukan sanering mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10% saja

3. Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon).

Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari imperialisme.

Meski begitu, dalam pelaksanaannya Dekon tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi, Dekon justru mengakibatkan perekonomian Indonesia stagnan.

Masalah perekonomian diatur atau dipegang oleh pemerintah sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi banyak diabaikan.

4. Keadaan perekonomian semakin buruk karena pembengkakan biaya proyek mercusuar. Proyek Mercusuar Soekarno adalah proyek pembangunan ibukota agar mendapat perhatian dari luar negeri.

Untuk memfasilitasi Ganefo (Games of the New Emerging Forces) sebagai tandingan dari Olimpiade, pemerintah membangun proyek besar seperti gedung CONEFO yang sekarang dikenal sebagai DPR, MPR, DPD DKI Jakarta, Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, pembangunan Monumen Nasional (Monas), dan pusat pertokoan Sarinah.